Kamis, 17 Januari 2013

Keadilan Tanpa Penjara












TEMA            : Filsafat Memandang Keadilan Tanpa Penjara dalam
  Perspektif HAM
JUDUL          : Penjara dalam Perspektif HAM


Disusun Oleh:


Nama               : Sofyan Anshori Rambe
NIM                : 8111412013
Rombel            : 01
Mata Kuliah    : Pengantar Filsafat Hukum


UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Negara Indonesia adalah negara hukum bukan negara otoriter, totaliter atau berdasarkan agama. Sejarah pembentukan hukum semata-mata demi kepentingan dan kebaikan seluruh umat manusia. Sejatinya yang diusung oleh hukum adalah semangat terciptanya keadilan, namun seringkali hukum itu sendiri terlalu frigid (kaku) sehingga seperti menutup mata terhadap makna keadilan.
Sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan Hak Asasi Manusia (HAM) seiring dengan pendiriannya pada tahun 1945, maka HAM muncul sebagai issue internasional yang selalu menjadi perhatian masyarakat dunia. Namun sayangnya, HAM yang semula lahir dimaksudkan untuk membebaskan umat manusia dari penjajahan, belakangan justru menjadi senjata ampuh untuk menghidupkan kembali Imperialisme Modern.
Di Indonesia, HAM menjadi senjata penting bagi para mafia hukum dalam mengusung semua programnya. Dengan dalih HAM, para mafia hukum selalu memperjuangkan “penghalalan yang haram” dan “pembelaan yang bathil”, seperti keadilan tanpa penjara dengan dalih Hak Asasi Manusia.
Karena itulah dalam makalah kali ini, penulis akan membahas tentang Penjara dalam Perspektif HAM.

B.     PERUMUSAN MASALAH
1.      Apakah pidana penjara melanggar Hak Asasi Manusia?
2.      Bagaimana pemenuhan hak-hak seksual para napi dalam penjara?


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Apakah pidana penjara melanggar Hak Asasi Manusia?
Pidana penjara merupakan pidana hilang kemerdekaan bergerak. Sistem Pidana penjara mulai di kenal di Indonesia melalui KUHP (Wet Buek Van Strefrecht) tepatnya pada pasal 10 yang menyebutkan pidana terdiri dari :
a.       Pidana Pokok
·         Hukuman mati
·         Hukuman penjara
·         Hukuman kurungan
·         Hukuman denda
b. Pidana Tambahan
·         Pencabutan hak-hak tertentu
·         Perampasan barang-barang tertentu
·         Pengumuman putusan hakim.
Hal ini menarik untuk dikaji pada pidana pokok khususnya poin kedua yaitu Pidana Penjara. Menurut rancangan Undang-undang KUHP yang baru dikaitkan dengan rumusan-rumusan sanksi pidana dari berbagai peraturan Perundang-undangan yang sedang berlaku. Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat untuk menjalankan pidana hilang kemerdekaan Bergerak bagi seseorang yang karena perbuatannya melanggar hukum dan dinyatakan bersalah serta di putus dalam persidangan dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam menetapkan pidana yang dijatuhkan harus dipahami benar apa makna dari kejahatan, penjahat dan pidana itu sendiri. Apakah sudah setimpal dengan berat dan sifat kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku pidana yang telah dijatuhi hukuman oleh hakim tidak cukup untuk mengatakan bahwa pidana itu harus sesuai dengan ancaman pidana yang terdapat dalam peraturan perundang–undangan yang berlaku.
Pidana termasuk tindakan, bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan bagi yang dikenainya, oleh karena itu sudah sewajarnyalah tidak henti–hentinya untuk mencari dasar, tujuan serta hakekat dari pidana dan pemidanaan, untuk memberikan pembenaran dari pidana itu.
Jenis pidana yang paling sering dijatuhkan pada saat ini adalah pidana pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara . Pidana pencabutan kemerdekaan atau pidana penjara dilaksanakan dibelakang tembok yang tebal yang sama sekali asing bagi narapidana.
Mencermati kalimat “PIDANA PENJARA” mengandung pengertian bahwa tata perlakuan terhadap Narapidana belum berubah, karena PENJARA berasal dari PENJORO (Jawa) yang berarti taubat atau jera, di penjara atau dibuat jera (Koesnoen, RA, 1961 : 9). Walaupun tujuan dari Pidana Penjara itu sendiri adalah Pemasyarakatan. Hal ini berbeda dengan pidana lainnya, yang bunyi kalimatnya Pidana mati. Tujuan dan perlakuannya adalah terpidana tersebut di Hukum Mati atau dibuat Mati, begitu juga Pidana Denda artinya Narapidana tersebut di denda.
Lain halnya dengan Pidana Penjara yang mengandung pengertian tata perlakuan terhadap Narapidana tersebut di buat jera agar tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum Hal ini akan mengandung persepsi yang berbeda-beda karena membuat orang jera akan di tempuh berbagai macam cara.
Padahal tidak demikian maksud dari Pidana Penjara, yang sebenarnya adalah satu-satunya derita yang diberikan oleh Negara adalah dihilangkannya kemerdekaan bergerak dan di bimbing terpidana agar bertaubat, di didik supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosial di Indonesia yang berguna.
Hal ini sesuai dengan orasi ilmiah Dr. Soeardjo, SH pada penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum, oleh Universitas Indonesia di Istana Negara pada tanggal 5 Juli 1963. Merumuskan bahwa tujuan Pidana penjara adalah “Disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertaubat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosial di Indonesia yang berguna”. Gagasan tersebut sebagai tonggak sejarah lahirnya tata perlakuan yang lebih baik terhadap Narapidana yang melahirkan prinsip-prinsip pemasyarakatan, kemudian dirumuskan dalam suatu sistem yaitu Sistem Pemasyarakat.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa pidana penjara tidaklah melanggar Hak-Hak Asasi Manusia, karena tujuan pidana penjara tersebut tidaklah semata untuk menghilangkan kemerdekaan bergerak terpidana, melainkan untuk membimbing terpidana untuk bertaubat dan supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosial yang berguna di Indonesia.

2.      Bagaimana pemenuhan hak-hak seksual para napi dalam penjara?
Laporan pemenuhan kebutuhan seksual bagi napi merupakan masalah yang besar, karena hanya beberapa negara yang memberikan izin dengan persyaratan ketat. Bagi napi yang mempunyai istri atau suami tidak ada masalah jika UU kelak memberikan kesempatan kepada napi untuk menyalurkan dorongan seksualnya.
Tapi, bagaimana dengan napi yang tidak mempunyai istri atau suami? Jika izin untuk melampiaskan hasrat seksual diatasi hanya bagi yang mempunyai istri atau suami tentulah sudah terjadi diskriminasi. Ini pun merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM. Kalau diberikan izin kepada yang lajang atau duda untuk melampiaskan hasrat seksualnya akan menimbulkan polemik yang berkepanjangan karena LP dianggap “melegalkan” zina.
Apa yang harus diperhatikan jika pemerintah merealisasikan UU dan fasilitas yang dibutuhkan untuk penyaluran seks para napi?
Tentunya pengaturannya harus diperhatikan dengan baik. Kalau nantinya mereka pakai harus bayar, ini harus diawasi agar tidak menjadi sumber korupsi. Lalu harus dibuat penjadwalan untuk para napi ini, supaya adil, jangan sampai ada yang kebagian ada yang tidak. Teknisnya harus bekerja sama dengan petugas kesehatan dan psikiater yang dapat mengklasifikasikan mana napi yang butuh segera dan mana yang belum, jadi bisa tepat pengaturan jadwalnya. Selain itu yang lebih penting adalah memastikan hanya napi yang sudah berkeluarga yang bisa memanfaatkan fasilitas ini, tentu dengan istri sahnya. Jangan sampai disalahgunakan napi dengan menyewa perempuan.


BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
1.    Pidana penjara tidaklah melanggar Hak-Hak Asasi Manusia, karena tujuan pidana penjara tersebut tidaklah semata untuk menghilangkan kemerdekaan bergerak terpidana, melainkan untuk membimbing terpidana untuk bertaubat dan supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosial di Indonesia yang berguna.
2.      Jika pemerintah merealisasikan UU serta fasilitas untuk menyalurkan dorongan seksual para napi, maka kalau nantinya mereka pakai harus bayar, harus dipastikan hal ini tidak menjadi sumber korupsi. Lalu harus dibuat penjadwalan untuk para napi ini, supaya adil, jangan sampai ada yang kebagian ada yang tidak. Selain itu yang lebih penting adalah memastikan hanya napi yang sudah berkeluarga yang bisa memanfaatkan fasilitas ini, tentu dengan istri sahnya. Jangan sampai disalahgunakan napi dengan menyewa perempuan.

B.     Saran
Pemerintah seharusnya lebih peka terhadap kebutuhan para napi dalam penjara, termasuk kebutuhan seksual, dengan merealisasikan UU maupun fasilitas yang dibutuhkan dalam hal ini. Selanjutnya harus ada pengawasan jika fasilitas tersebut dikenakan biaya, agar tidak menjadi sumber korupsi. Dan harus dibuat penjadwalan, dan jangan sampai disalahgunakan napi dengan menyewa perempuan, khususnya bagi napi yang belum menikah atau duda.


DAFTAR PUSTAKA
National Standards to Prevent, Detect, and Respond to Prison Rape [Standar Nasional untuk Mencegah, Mendeteksi dan Mengarang Balasan terhadap Pemerkosaan di Penjara]. U.S. Department of Justice, May 17, 2012, tersedia pada www.ojp.usdoj. gov/programs/pdfs/prea_final_rule.pdf

 Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Penanggulanngan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, CV. Ananta, Semarang, 1994.
http://eksistensi-pidana-penjara-dalam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar