TEMA : Filsafat
Memandang Keadilan Tanpa Penjara dalam
Perspektif HAM
JUDUL : Penjara dalam Perspektif HAM
Disusun Oleh:
Nama : Sofyan Anshori Rambe
NIM : 8111412013
Rombel : 01
Mata
Kuliah : Pengantar Filsafat Hukum
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Negara Indonesia adalah negara hukum bukan negara otoriter,
totaliter atau berdasarkan agama. Sejarah pembentukan hukum semata-mata demi
kepentingan dan kebaikan seluruh umat manusia. Sejatinya yang diusung oleh
hukum adalah semangat terciptanya keadilan, namun seringkali hukum itu sendiri
terlalu frigid (kaku) sehingga seperti menutup mata terhadap makna keadilan.
Sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan Hak Asasi
Manusia (HAM) seiring dengan pendiriannya pada tahun 1945, maka HAM muncul
sebagai issue internasional yang selalu menjadi perhatian masyarakat dunia.
Namun sayangnya, HAM yang semula lahir dimaksudkan untuk membebaskan umat
manusia dari penjajahan, belakangan justru menjadi senjata ampuh untuk
menghidupkan kembali Imperialisme Modern.
Di Indonesia, HAM menjadi senjata penting bagi para mafia hukum
dalam mengusung semua programnya. Dengan dalih HAM, para mafia hukum selalu
memperjuangkan “penghalalan yang haram” dan “pembelaan yang bathil”, seperti
keadilan tanpa penjara dengan dalih Hak Asasi Manusia.
Karena itulah dalam makalah kali ini, penulis akan membahas tentang
Penjara dalam Perspektif HAM.
B.
PERUMUSAN
MASALAH
1.
Apakah
pidana penjara melanggar Hak Asasi Manusia?
2.
Bagaimana
pemenuhan hak-hak seksual para napi dalam penjara?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Apakah
pidana penjara melanggar Hak Asasi Manusia?
Pidana
penjara merupakan pidana hilang kemerdekaan bergerak. Sistem Pidana penjara
mulai di kenal di Indonesia melalui KUHP (Wet Buek Van Strefrecht)
tepatnya pada pasal 10 yang menyebutkan pidana terdiri dari :
a. Pidana Pokok
·
Hukuman
mati
·
Hukuman
penjara
·
Hukuman kurungan
·
Hukuman denda
b.
Pidana Tambahan
·
Pencabutan
hak-hak tertentu
·
Perampasan
barang-barang tertentu
·
Pengumuman putusan
hakim.
Hal ini menarik untuk
dikaji pada pidana pokok khususnya poin kedua yaitu Pidana Penjara. Menurut
rancangan Undang-undang KUHP yang baru dikaitkan dengan rumusan-rumusan sanksi
pidana dari berbagai peraturan Perundang-undangan yang sedang berlaku. Lembaga
Pemasyarakatan sebagai tempat untuk menjalankan pidana hilang kemerdekaan
Bergerak bagi seseorang yang karena perbuatannya melanggar hukum dan dinyatakan
bersalah serta di putus dalam persidangan dan putusan tersebut telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Dalam menetapkan pidana
yang dijatuhkan harus dipahami benar apa makna dari kejahatan, penjahat dan
pidana itu sendiri. Apakah sudah setimpal dengan berat dan sifat kejahatan yang
dilakukan oleh sipelaku pidana yang telah dijatuhi hukuman oleh hakim tidak
cukup untuk mengatakan bahwa pidana itu harus sesuai dengan ancaman pidana yang
terdapat dalam peraturan perundang–undangan yang berlaku.
Pidana termasuk
tindakan, bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan bagi yang dikenainya, oleh
karena itu sudah sewajarnyalah tidak henti–hentinya untuk mencari dasar, tujuan
serta hakekat dari pidana dan pemidanaan, untuk memberikan pembenaran dari
pidana itu.
Jenis pidana yang paling sering dijatuhkan pada saat ini adalah pidana
pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara . Pidana pencabutan kemerdekaan
atau pidana penjara dilaksanakan dibelakang tembok yang tebal yang sama sekali
asing bagi narapidana.
Mencermati kalimat
“PIDANA PENJARA” mengandung pengertian bahwa tata perlakuan terhadap Narapidana
belum berubah, karena PENJARA berasal dari PENJORO (Jawa) yang berarti taubat
atau jera, di penjara atau dibuat jera (Koesnoen, RA, 1961 : 9). Walaupun
tujuan dari Pidana Penjara itu sendiri adalah Pemasyarakatan. Hal ini berbeda
dengan pidana lainnya, yang bunyi kalimatnya Pidana mati. Tujuan dan
perlakuannya adalah terpidana tersebut di Hukum Mati atau dibuat Mati, begitu juga
Pidana Denda artinya Narapidana tersebut di denda.
Lain halnya dengan
Pidana Penjara yang mengandung pengertian tata perlakuan terhadap Narapidana
tersebut di buat jera agar tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum
Hal ini akan mengandung persepsi yang berbeda-beda karena membuat orang jera akan
di tempuh berbagai macam cara.
Padahal tidak demikian
maksud dari Pidana Penjara, yang sebenarnya adalah satu-satunya derita yang
diberikan oleh Negara adalah dihilangkannya kemerdekaan bergerak dan di bimbing
terpidana agar bertaubat, di didik supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosial
di Indonesia yang berguna.
Hal ini sesuai dengan
orasi ilmiah Dr. Soeardjo, SH pada penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam
ilmu hukum, oleh Universitas Indonesia di Istana Negara pada tanggal 5 Juli
1963. Merumuskan bahwa tujuan Pidana penjara adalah “Disamping menimbulkan rasa
derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing
terpidana agar bertaubat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat
sosial di Indonesia yang berguna”. Gagasan tersebut sebagai tonggak sejarah
lahirnya tata perlakuan yang lebih baik terhadap Narapidana yang melahirkan
prinsip-prinsip pemasyarakatan, kemudian dirumuskan dalam suatu sistem yaitu
Sistem Pemasyarakat.
Dengan demikian,
dapatlah dikatakan bahwa pidana penjara tidaklah melanggar Hak-Hak Asasi
Manusia, karena tujuan pidana penjara tersebut tidaklah semata untuk
menghilangkan kemerdekaan bergerak terpidana, melainkan untuk membimbing
terpidana untuk bertaubat dan supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosial yang
berguna di Indonesia.
2.
Bagaimana
pemenuhan hak-hak seksual para napi dalam penjara?
Laporan
pemenuhan kebutuhan seksual bagi napi merupakan masalah yang besar, karena
hanya beberapa negara yang memberikan izin dengan persyaratan ketat. Bagi napi
yang mempunyai istri atau suami tidak ada masalah jika UU kelak memberikan
kesempatan kepada napi untuk menyalurkan dorongan seksualnya.
Tapi,
bagaimana dengan napi yang tidak mempunyai istri atau suami? Jika izin untuk
melampiaskan hasrat seksual diatasi hanya bagi yang mempunyai istri atau suami
tentulah sudah terjadi diskriminasi. Ini pun merupakan perbuatan yang melawan
hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM. Kalau diberikan izin kepada yang
lajang atau duda untuk melampiaskan hasrat seksualnya akan menimbulkan polemik
yang berkepanjangan karena LP dianggap “melegalkan” zina.
Apa yang harus diperhatikan jika pemerintah
merealisasikan UU dan fasilitas yang dibutuhkan untuk penyaluran seks para
napi?
Tentunya
pengaturannya harus diperhatikan dengan baik. Kalau nantinya mereka pakai harus
bayar, ini harus diawasi agar tidak menjadi sumber korupsi. Lalu harus dibuat
penjadwalan untuk para napi ini, supaya adil, jangan sampai ada yang kebagian
ada yang tidak. Teknisnya harus bekerja sama dengan petugas kesehatan dan
psikiater yang dapat mengklasifikasikan mana napi yang butuh segera dan mana
yang belum, jadi bisa tepat pengaturan jadwalnya. Selain itu yang lebih penting
adalah memastikan hanya napi yang sudah berkeluarga yang bisa memanfaatkan fasilitas
ini, tentu dengan istri sahnya. Jangan sampai disalahgunakan napi dengan
menyewa perempuan.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
1. Pidana penjara tidaklah melanggar Hak-Hak Asasi Manusia, karena tujuan
pidana penjara tersebut tidaklah semata untuk menghilangkan kemerdekaan
bergerak terpidana, melainkan untuk membimbing terpidana untuk bertaubat dan
supaya menjadi seorang anggota masyarakat sosial di Indonesia yang berguna.
2.
Jika pemerintah
merealisasikan UU serta fasilitas untuk menyalurkan dorongan seksual para napi,
maka kalau nantinya mereka pakai harus bayar, harus dipastikan hal ini
tidak menjadi sumber korupsi. Lalu harus dibuat penjadwalan untuk para napi
ini, supaya adil, jangan sampai ada yang kebagian ada yang tidak. Selain itu
yang lebih penting adalah memastikan hanya napi yang sudah berkeluarga yang
bisa memanfaatkan fasilitas ini, tentu dengan istri sahnya. Jangan sampai
disalahgunakan napi dengan menyewa perempuan.
B.
Saran
Pemerintah
seharusnya lebih peka terhadap kebutuhan para napi dalam penjara, termasuk
kebutuhan seksual, dengan merealisasikan UU maupun fasilitas yang dibutuhkan
dalam hal ini. Selanjutnya harus ada pengawasan jika fasilitas tersebut
dikenakan biaya, agar tidak menjadi sumber korupsi. Dan harus dibuat
penjadwalan, dan jangan sampai disalahgunakan napi dengan menyewa perempuan,
khususnya bagi napi yang belum menikah atau duda.
DAFTAR PUSTAKA
National Standards to Prevent, Detect, and Respond to Prison Rape
[Standar Nasional untuk Mencegah, Mendeteksi dan Mengarang Balasan terhadap
Pemerkosaan di Penjara]. U.S.
Department of Justice, May 17, 2012, tersedia pada www.ojp.usdoj.
gov/programs/pdfs/prea_final_rule.pdf
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan
Penanggulanngan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, CV. Ananta, Semarang,
1994.
http://eksistensi-pidana-penjara-dalam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar