Natural Law Theory
Filsafat
Hukum Alam (Natural Law) lahir sejak zaman Yunani, berkembang di zaman Romawi
sampai ke zaman modern ini. Pemuka Hukum Alam adalah Plato (429-347 BC),
Aristotle (348-322 BC) zaman Yunani, Marcus Tullius Cicero (106-43 BC) zaman
Romawi, St. Agustine (354-430), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274) dari
kalangan Kristen, Grotius (15831645), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke
(1632-1704).
Teori
Hukum berkenaan dengan pertanyaan, apa yang dimaksud dengan Hukum Alam (Natural
Law)? Dihubungkan dengan Teori Hukum Alam (Natural Law), maka Teori Hukum lebih
berhubungan dengan karakter dari hukum atau karakter dari suatu sistem hukum
daripada isinya, yaitu peraturan perundang-undangan yang spesifik. Namun
demikian, setiap penjelasan yang tepat mengenai Hukum Alam (Natural Law), akan
mengakomodasi fungsi dan administrasi dari ketentuan-ketentuan hukum tertentu
dari suatu sistem hukum. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, ada yang
menekankan kepada satu atau lebih aspek khusus di dalam mana hukum positif
beroperasi. Analisis hukum yang lainnya memberikan tekanan yang khusus kepada
kekuasaan dan posisi dari pembuat undang-undang, sementara yang lainnya
memberikan penekanan kepada pengadilan, yang lainnya melihat sikap dari
masyarakat yang menjadi subjek hukum, dan lainnya lagi menekankan kepada moral
dan nilai-nilai sosial di mana hukum itu bertujuan untuk mereflesikannya dan
mendorongnya. Analisis dari unsur-unsur hukum seperti tersebut di atas, metode
pendekatannya umumnya dikenal sebagai “doktrin Hukum Alam”, “positivisme”, dan
“realisme”, kesemuanya menawarkan sesuatu yang sangat berharga untuk
diperhatikan dan dengan demikian membuatnya saling bersaing, kadang-kadang
menimbulkan konflik, dalam usaha untuk mendapat pengakuan. Kontribusi
masing-masing seringkali digunakan sebagai alasan kritik terhadap metode yang
lain.
Hukum
Alam1
Pembahasan
tentang sifat daripada hukum, sebagian mengenai “hukum dari alam” (“the law
of nature”). Berdasarkan idologi tertentu yang ada dibalakangnya, berbagai
nama dipergunakan untuk subjek yang sama, seperti hukum alam semesta (the
law of the universe), hukum Tuhan (the law of God), hukum yang
kekal/abadi (the eternal law), hukum dari umat manusia (the law of
mankind) dan hukum dari akal (the eternal of reason).
Klaim
yang sentral terhadap “hukum dari alam” (“the law of nature”) ialah apa
yang sifatnya alamiah, yang seharusnya terjadi. Hukum dari alam (“the law of
nature”) seharusnya menjadi hukum yang mengatur untuk semua benda, termasuk
manusia dan hubungan-hubungan manusia. Hipotesa dari asumsi di belakang teori
ini, bahwa hukum atau seperangkat hukum menguasai atau mengatur semua hal,
apakah itu grafitasi, gerakan, phisik, dan reaksi kimia, insting binatang atau
tindakan manusia. Boleh dikatakan tindakan kita yang tertentu dan reaksinya
ditentukan oleh hukum dari alam (the law of nature) dan segala yang
terjadi berlawanan adalah berlawanan dengan alam. Jika sebuah batu dijatuhkan
dalam keadaan gravitasi normal, ia akan menentang hukum grafitasi jika terangkat
ke udara. Menurut hukum gravitasi, batu itu akan jatuh ke bawah, namun demikian
batu itu tidak mempunyai akal dan tidak memiliki kapasitas untuk memilih apa
yang ia inginkan. Sebaliknya, manusia memiliki kemampuan dalam berbagai
kombinasi. Tidak seperti batu, manusia tidak terikat dengan sendirinya, secara
psikologis atau spiritual untuk mengikuti hukum yang seharusnya ditaatinya
dalam hubungan sesama mereka. Kita “seharusnya” (“ought”) dapat dipakai
dalam hubungan dengan batu dalam pernyataan seperti : “batu itu seharusnya
jatuh (ought to fall) ke bawah bila kita melepaskannya”.
1
Tulisan mengenai Hukum Alam dan Sejarah Hukum
Alam disadur dari John Finch, Introduction to Legal Theory (London : Sweet
& axwell, 1974), h. 17-37
Pernyataan
ini memperlihatkan kemungkinan semata-mata (walaupun prediksi ini sangat mudah dikenali).
Teori Hukum Alam (Natural Law) menyatakan bahwa ada hukum dari alam (the
law of nature) yang menurut ajaran dan prinsip-prinsip terhadap mana semua
hal, termasuk manusia sendiri, harus berkelakuan. Premis pertama dari doktrin
Hukum Alam (Natural Law) adalah apa yang diketemukan oleh Hukum Alam (Natural
Law), seharusnya diikuti. Masalah pertama adalah bagaimana menemukan apa
yang diketemukan oleh Hukum Alam. Hukum Alam (Natural Law) memberikan
tempat utama kepada moralitas. Peranan yang dimainkan oleh moral dalam
memformulasikan teori mengenai hukum dari alam (the law of nature)
kadang-kadang dinyatakan secara tegas, tetapi lebih banyak dinyatakan secara
diam-diam. Moralitas digunakan dalam berbagai peranan. Kadang-kadang
dikarakterisasikan sebagai produk dari isi Hukum Alam (Natural Law).
Kadang-kadang ia diberikan peranan ganda, tidak hanya sebagai produk tetapi juga
ebagai pembenaran, petunjuk kata hati/hati nurani. Dengan perkataan lain apa
yang seharusnya berlaku mengikuti apa yang seharusnya secara moral berlaku.
Jika
Hukum Alam (Natural Law) ingin memiliki relavansi hukum, maka ia harus
berisi prinsip-prinsip petunjuk di mana manusia akan menggunakannya untuk
mengatur diri mereka sendiri dan orang lain. Variasi yang luas mengenai standar
keadilan dan moralitas dapat ditinjau pada waktu yang berbeda, di antara
orang-orang yang berlainan dan bahkan diantara individu yang berlainan, mungkin
akan menghasilkan satu standar petunjuk yang menonjol tetapi variasi-variasi
tersebut juga mengindikasikan sulitnya menentukan apa yang dimaksud dengan
prinsip-prinsip alamiah itu. Hukum hanya dapat dilihat dari pedoman-pedoman yang
ditawarkan pada penerapan prinsip-prinsip tersebut terhadap kasus-kasus
tertentu.
Sejarah
Hukum Alam (Natural Law)
Sama
halnya dengan banyak bidang studi lainnya, sejarah hukum dari alam (the law
of nature) dimulai pada zaman Yunani. Filsafat Yunani melahirkan standar
yang absolut mengenai hak dan keadilan. Hal ini didasarkan pada kepercayaan
pada berlakunya kekuasaan supernatural atas hukum, di mana manusia seharusnya
mematuhinya. Pernyataan riil pertama dari Teori Hukum Alam (Natural Law)
dari sudut terminologi filsafat berasal dari abad ke 6 SM. Hukum manusia
dikatakan mendapat tempatnya dalam tatanan benda-benda berdasarkan atas
kekuatan yang mengontrol segala hal. Reaksi dari ajaran ini datang pada
abad-abad berikutnya dimana ada perbedaan dan kemungkinan timbulnya konflik
antara Hukum Alam (Natural Law) dan hukum yang dibuat manusia. Pada
zaman Yunani, Aritoteles dan Plato membangun kembali Hukum Alam (Natural Law).
Sampai hari ini hanya Aristoteles yang mempunyai pengaruh terbesar dalam
doktrin Hukum Alam (Natural Law). Aristoteles menganggap manusia adalah
bagian dari alam, bagian dari sesuatu, tetapi juga, diikuti dengan akal yang
cemerlang, yang membuat manusia sesuatu yang istimewa dan memberikannya
kekhususan yang menonjol. Pengakuan terhadap akal manusia membentuk dasar bagi
konsepsi Stoic mengenai Hukum Alam (Natural Law). 2Stoic
mengatakan, akal berlaku terhadap semua bagian dari alam semesta dan manusia
adalah bagian dari alam semesta, diperintah akal. Manusia hidup pada dasarnya
jika ia hidup menurut akalnya. Doktrin Hukum Alam (Natural Law) kemudian
sampai pada tingkat di mana alam universal memimpin, melalui akal dan kritik
yang dijalankan oleh manusia, langsung kepada tingkah laku yang seharusnya
secara normatif dijalankan. Keharusan yang normatif ini dianggap bagian yang
integral dan didukung oleh moral. Stoic menambahkan unsur agama dalam tingkah
laku manusia. Era cemerlang dari Hukum Alam (Natural Law) lahir dari
doktrin hukum agama dari Thomas Aquinas. Pada masa itu Tuhan dari agama Kristen
dianggap sebagai sumber kekuatan akal yang berasal dari Tuhan. Misalnya hal ini
diketemukan dalam 10 Perintah Tuhan.
Sekuralisasi
dari Hukum Alam (Natural Law) kemudian datang belakangan pada masa
Thomas Hobbes dan Grotius. Ahli-ahli filsafat abad ke-17 ini pada umumnya
menolak konsepsi bahwa Tuhan adalah sumber tertinggi dari hukum, mereka
berpendapat Hukum Alam (Natural Law) itu mengindikasikan bahwa tindakan
manusia itu datang dari kesepakatan mereka atau ketidak sepakatan mereka,
berdasarkan akal atau kebutuhan moral, dan akibatnya perbuatan itu dilarang
atau diperintahkan oleh Tuhan.
Dalam
perkembangan selanjutnya Thomas Hobbes mempunyai motif politik dengan
menggunakan Hukum Alam (Natural Law) untuk membenarkan perlunya
pemerintahan yang absolut, kekuasaan politik yang besar untuk melindungi rakyat
biasa melawan mereka sendiri dan melawan kekurangan/kelemahan mereka sendiri.
Reaksi terhadap Thomas Hobbes datang dari Jeremy Bentham dengan ajarannya utilitarianisme
– kebahagiaan setinggi-tingginya untuk sebesar-besarnya umat manusia. Ajaran Bentham
adalah penolakan total dari doktrin Hukum Alam (Natural Law).
Pembela
doktrin Hukum Alam Modern, antara lain Professor d’Entreves yang mengatakan
alam masalah analisis terhadap sifat dari hukum: “jawaban kaum Positivis adalah
mengorbankan apa yang seharusnya (the ought) kepada apa yang menjadi (the
is); sarjana Hukum Alam (Natural Law) mengorbankan apa yang menjadi
(the is) kepada apa yang seharusnya (the ought); tentu
persoalannya adalah bagaimana hukum dapat dinyatakan dalam bentuk menjadi (an
is) dan yang seharusnya (an ought), bagaimana keduanya dapat menjadi
fakta dan proposisi seharusnya (an ought proposition). Saya percaya ada
unsur kebenaran pada kedua pihak, dan bahwa kata akhir bukanlah masalah Teori
Hukum sebagaimana juga bukan Teori Politik.” Pendapat dari Prof. d’Entreves
membuktikan kenyataan bahwa doktrin Hukum Alam dan Positivisme mempunyai
peranan yang saling melengkapi untuk memecahkan persoalan-persoalan sifat dari
hukum. Hukum internasional merupakan indikator yang baik untuk mendukung
pendapatnya tersebut. Lemahnya hukum internasional sekarang ini tidak karena tidak
adanya penegakkan tetapi karena tidak adanya “peranan moral internasional” (“international
moral sence”). Menghubungkannya dengan sikap modern terhadap Hukum Alam yang
memusatkan perhatian kepada aspek spesifik tertentu tentang isinya, Hard
berpendapat isi minimum dari Hukum Alam adalah “core of good sence”
(perasaan yang baik). Hard berpendapat Hukum Alam bisa diketemukan melalui
akal, dan apa hubungannya dengan hukum manusia dan moralitas. Dalam hubungan
ini, pertanyaan mengenai bagaimana manusia hidup bersama, harus kita asumsikan
bahwa keinginan mereka, dalam garis besarnya adalah untuk hidup.
Pada
abad ke 18 terjadi perdebatan antara Blackstone dan Bentham yang mempengaruhi Teori
Hukum (Legal Theory). Blackstone adalah penganut Hukum Alam dari
Inggris, sebaliknya Bentham adalah pengkritik Hukum Alam. Menurut Blackstone
hukum itu adalah rule of action,aturan untuk berbuat yang diterapkan
secara tidak diskriminatif kepada semua macam tindakan apakah animate or
inanimate, rasional atau tidak rasional. Rule of action dilakukan
oleh yang superior di mana yang inferior terikat untuk menaatinya. Hukum dari
alam menurut Blackstone adalah kehendak dari Penciptanya (Maker).
Hubungan
Hukum dan Moral Menurut Hukum Alam
Masalah
hubungan hukum dan moral tidak lagi merupakan masalah bentuk atau struktur,
tetapi masalah tentang isi. Menurut penganut Hukum Alam (Natural Law),
isi dari hukum adalah moral. Hukum tidak semata-mata merupakan suatu peraturan
tentang tindakan-tindakan hukum itu berisi nilai-nilai, hukum itu adalah
indikasi, apakah yang baik dan yang buruk. Selanjutnya yang baik dan yang buruk
itu adalah syarat-syarat dari kewajiban hukum. Penganut Hukum Alam menganggap
bahwa hukum tidak semata-mata merupakan perintah tetapi juga seperangkat
nilai-nilai tertentu. Penganut Teori Hukum Alam (Natural Law) tidak
pernah berpendapat bahwa hukum itu semata-mata ekspresi dari standar kelompok
tertentu atau masyarakat tertentu.
Penganut
Hukum Alam (Natural Law) percaya kepada nilai-nilai yang absolut dan
mereka berpendapat hukum adalah alat untuk mencapai nilai-nilai tersebut. Thomas Aquinas mengatakan Hukum Alam (Natural
Law) itu adalah mengerjakan yang baik dan menghindarkan yang buruk. Grotius
menyatakan bahwa hukum dari alam (the law of nature) menunjukkan
alasan-alasan yang baik dan tindakan-tindakan di dalamnya memiliki kualitas
moral. Adalah jelas, dari sudut praktis, untuk menetapkan kebutuhan yang
rasional adanya ketertiban hukum dalam setiap masyarakat. Salah satu contoh
adalah “Rule of Law”. Pendapat modern mengenai hal ini diberikan oleh
L.L. Fuller yang dikuatkan oleh Finnis dan Joseph Raz. Mereka mengatakan bahwa
hukum itu adalah atauran-aturan yang umum dan jelas yang masuk akal, yang harus
dipublikasikan kepada pihak-pihak yang dikehendakinya dan memiliki akibat yang
perspektif. Aturan-aturan itu harus tetap masuk akal dan konsisten dari
waktu-kewaktu, berisi standar yang mungkin dilaksanakan. Oleh karenanya hukum yang
mengesampingkan perempuan dan orang hitam dari kantor-kantor atau profesi atau
tidak memiliki suara untuk memilih adalah bertentangan dengan moral.
Contoh
lain lagi mengenai hak asasi manusia, pendekatan dari teori Hukum Alam terhadap
eksistensi dari hak asasi manusia adalah sangat terintegrasi dan menyeluruh.
HAM berasal dari Hukum Tuhan (divine law) kemudian menjadi Hukum Alam (Natural
Law) yang berisikan ajaran-ajaran moral yang kemudian dituangkan oleh
manusia dalam hukum positif yang berisi hak dan kewajiban, termasuk HAM.
Menurut Teori Hukum Alam (Natural Law), hak-hak dan hukum adalah bagian
yang universal dari sistem moral. Contoh berikutnya adalah mengenai penerapan
prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law). Dasar umum
dari substansi prinsip persamaan bagi umat manusia adalah kemanusian mereka
sendiri. Semua orang seharusnya diperlakukan sama karena mereka secara
karakteristik adalah sama, rasa senang dan rasa sakit sama bagi semua orang.
Perbedaan kedudukan berdasarkan apapun juga tidak dapat menghapuskan persamaan
tersebut, begitu juga perbedaan antara orang hitam dan orang putih, antara
laki-laki dan perempuan tidak boleh membawa perbedaan perlakuan terhadap
mereka.
Contoh
berikutnya adalah penerapan Hukum Alam (Natural Law) pada kasus Aborsi. Hukum
Alam berasal dari hukum Tuhan (divine law), oleh karenanya gereja
Katolik Roma2 menentang aborsi, mereka percaya bahwa aborsi adalah
pembunuhan, bukan merupakan dogma dari gereja. Tetapi pendirian ini berubah,
bahwa janin belumlah menjadi manusia sampai pada saat “animation.”
Berdasarkan doktrin Katolik, janin laki-laki memiliki animasi pada hari ke 40 setelah pembuahan, janin perempuan
dipercaya memiliki animasi setelah 80 hari. Tapi setelah abad ke 18 gereja
berpendapat bahwa kehidupan manusia mulai sejak pembuahan. Jadi perdebatan
berputar kepada kapan tepatnya janin itu diakui sebagai manusia. Menurut
interpretasi hukum Islam yang berdasarkan Ilmu Kedokteran, kehamilan 42 hari
adalah akhir minggu keenam kehamilan setelah pembuahan. Berdasarkan hal
tersebut ada pemikiran untuk mengembangkan hukum Islam yang membolehkan
pengguguran kandungan sampai usia kehamilan 5 minggu (35 hari) atau maximum 42
hari; yaitu adalah 10 hari setelah seorang wanita mengetahui haidnya terlambat3.
2
Dennis
Patterson (Ed), Ibid, h, 232 Robin Paul Malloy, Adam Smith and the
Philosophy of Law and Economics, (Dordrecht : Kluwer
Academic
Publisher, 1994), h. 18-19.
3
“Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi,”
Republika, 20 April 2004.
Hukum
Alam Zaman Modern
Periode
zaman Renaissance di Eropa, perdebatan tentang Hukum Alam terkait dengan issue
hak-hak individu manusia dan batas-batas dari pemerintah. Hugo Grotius, Thomas
Hobbes dan John Locke banyak menulis tentang Hukum Internasional adalah pemuka
Hukum Alam Zaman Modern. Kemudian pemikiran Hukum Alam Zaman Modern dimulai
oleh John Finnis, pemikirannya adalah aplikasi dari pandangan Thomas Aquinas
yang berhubungan dengan masalah etika.
Finnis’s
ethical theory has a number of levels. The foundation is the claim that there
are a number of distinct but equally valuable intrinsic goods (that is,things
one values for their own sake), which he calls “basic goods”. In Natural Law and Natural Rights, Finnis list the following as basic
goods: life (and health), knowledge, play,
aesthetic experience, sociability (friendship), practical reasonableness, and
religion (Finnis’s list of basic goods changes somewhat in later articles).
These are “intrinsic” goods in the following sense : one can value, for
example, health for its own sake, but medical treatment only as a means to
health. If someone stated that she was buying medicine, not because she or
someone she knew was sick or might become sick, and not because it was part of
some study or some business, but simply because she liked acquiring medicines
and having a lot of them around, one might rightly begin to question her sanity
4Pemuka Hukum Alam lainnya dalam zaman modern adalah Lon Fuller yang
menolak secara tegas apa yang dilihatnya sebagai teori Hukum Positif. Fuller
mengatakan bahwa hukum itu sebagai tingkah laku manusia yang menentukan
peraturan-peraturan. Menurut Fuller hukum sebagai moral mempunyai persyaratan :
1. laws should be general
2.
they should be
promulgated, that citizens might know the standards to which they are being
held
3. retroactive rule-making and application should be minimized
4. laws should be understandable
5. they should not be contradictory
6. laws should not require conduct beyond the abilities of those
effected
7. they should remain relatively constant through time, and
8. they should be a congruence between the laws as announced and
their actual administration.
4
Dennis Patterson (Ed), A Companion to
Philosophy of Law and Legal Theory, (Oxford : Blackwell Publishing Ltd.,
1999), h. 228.
Filsafat
Hukum Alam Tradisional (Traditional Natural Law)
Pemukan-pemuka
Hukum Alam Tradisional adalah Cicero dan Thomas Aquinas. Cicero berpendapat
Hukum Alam itu tidak berubah-rubah dan tidak mempunyai perbedaan dalam
masyarakat yang berbeda. Setiap orang mempunyai akses kepada standar dari hukum
yang tertinggi ini dengan menggunakan
akal. Hukum yang tertinggi itu adalah pencerminan Divine Law atau Hukum
Tuhan.
Selanjutnya
Thomas Aquinas mengatakan hukum ada empat macam : the eternal law,
the natural law, the divine law, and human (positive) law.
Menurut Aquinas, Hukum Positif berasal dari Hukum Alam. Kadang-kadang
Hukum Alam mendiktekan bagaimana seharusnya Hukum Positif. Misalnya,
Hukum Alam mensyaratkan bahwa pembunuhan itu terlarang. Pada lain waktu Hukum
Alam memberikan ruang kepada manusia untuk memilih (berdasarkan adat lokal atau
pilihan kebijakan). Hukum Alam menghendaki peraturan jalannya mobil untuk
keselamatan pihak lain. Akan tetapi Hukum Alam memberikan keleluasaan
kepada pilihan manusia, jalan di sebelah kiri atau di sebelah kanan,
kecepatan kendaraan 55 mil/jam atau 65 mil/jam. Perbebatan tentang pemikiran
Aquinas terus berlangsung, misalnya, apakah Aquinas percaya Norma Moral
berasal secara langsung dari pengetahuan manusia atau berdasarkan pengalaman
penjelmaan alam atau produk dari pengertian praktis dan pemikiran berdasarkan
pengalaman manusia.
terimakasih.
BalasHapusizin coppy..